JAKARTAKU, dan JAKARTA MEREKA SEMUA
Jam
menunjukkan pukul 10 pagi.
Matahari sudah cukup terik. Akupun terbangun
dari tidurku dan bersiap untuk melanjutkan perjalananku. Namaku Ben Alde,
panggil saja aku Alde. Aku tidak tahu kemana aku harus pergi lagi. Aku sudah
patah arah. Ya.. bisa dibilang aku tersasar dibesarnya jantung Negara ini.
Jakarta, semua pasti tahu, Jakarta adalah ibukota Negara Indonesia. Sudah 6
hari aku melintasi kota ini, berharap ada kebaikan hati orang yang membuatku
berhenti untuk singgah dan menetap. Tapi, kenyataannya tidak ada sama sekali.
Bahkan ada yang bilang kepadaku begini “Ini Jakarta Bung Bukan Kampung, Jakarta
Keras Lo Gk Kerja, Lo Gk Bakal Bisa Hidup”. Ya… ternyata orang tersebut benar.
Dikota ini penduduknya semuanya pada bekerja, mulai dari yang berdasi, hingga
yang memakai kaos bolong-bolong.
Akupun berhenti sejenak, dan duduk
diemperan pasar. Begitu jorok, begitu kotor, begitu kumuh, dan begitu bau.
Tapi, aku tidak mau mengeluh dan kalah dengan orang di sebelahku. Ya… di
sebelahku duduk juga lelaki tua, yang sedang mengemis dan meminta uang kepada
setiap orang yang lalu lalang. Dan aku mulai berfikir, oh jadi ini, orang-orang
rela menjadi yang terbuang, hanya untuk uang receh yang nantinya akan dijadikan
modal untuk dia hidup dikota yang keras ini.
Tidak terasa hari sudah mulai gelap,
inilah saatnya aku mencari tempat untuk tidur. Akupun terus berjalan, dan waktu
semakin cepat berputar, dan kulihat jam ditanganku, sudah menunjukan pukul
setengah 11 malam. Sudah 4 jam lebih, aku mencari tempat peristirahatan.
Tubuhku sudah mulai lemah. Saat ini aku sedang melalui bilangan daerah
cipinang. Setauku cipinang itu terkenal dengan Lembaga Permasyarakatannya. Ya..
seperti penjara gitu. Tapi aku langsung terkejut, ternyata disepanjang jalan
cipinang, banyak sekali, perempuan dan setengah perempuan atau bisa dibilang
banci, sedang menjajahkan diri mereka. Oh.. mengapa mereka semua bisa serendah
itu, apakah tidak ada pekerjaan lain, selain seperti itu.
Akhirnya, setelah berjam-jam berjalan,
akupun menemukan tempat peristirahatan juga, yaitu di stasiun. Mau bagaimana
lagi, daripada aku harus tidur dipinggir jalan. Ternyata bukan hanya aku saja
yang tidur distasiun, tapi ada banyak sekali anak-anak punk dan orang-orang
yang kelihatannya seperti pengemis. Akupun tidak gengsi dan takut untuk
bergabung dengan mereka. Tapi, aku malah senang, karena bisa bisa berbagi
cerita dengan mereka semua. Banyak sekali yang bilang anak punk itu keras,
tidak berakal, dan lain-lainlah. Tetapi, saat ini aku merasakan hal yang
berbeda, menurutku anak punk itu, mempunyai solidaritas yang tinggi, walaupun
penampilannya saja yang agak menakutkan. Akupun mulai memejamkan mataku.
Mataharipun belum terbit, tapi aku sudah
dibangunkan oleh salah satu anak punk distasiun tersebut, dan ternyata
distasiun tersebut sedang ada razia anak punk dan gepeng. Oh… betapa kagetnya
aku, dan tanpa aku ambil pusing lagi, akupun langsung berlari dengan
kencangnya. Mungkin anda berfikir kenapa aku berlari, padahal aku belum bisa
disebut sebagai gepeng atau anak punk, aku berlari karena Kartu Tanda
Pendudukku bukan berasal dari Jakarta melainkan dari daerah lain. Ya… betapa
paniknya aku saat itu. Ternyata nasibku saat itu sedang beruntung, aku bisa
lepas dari kejaran satpol pp. Tapi, aku tersesat, aku tidak tahu dimana aku
berada, ahh.. sh*t.
Akupun singgah diwarteg untuk makan dan
sedikit berbicara kepada pemilik warteg. Dan ternyata aku tersesat dibilangan
Kebon Singkong. Untung saja pemilik warteg tersebut baik, akupun langsung
diantarnya kestasiun dimana aku beristirahat semalam.
Aku terdiam, dan sejenak berfikir, aku
tidak tahu harus kemana lagi, sedikit demi sedikit, uang yang ada didompetku
hanya tersisa selembar uang 20.000. apakah mungkin aku akan membusuk dikota
yang keras ini atau nasib baik akan menghampiriku.
Tiba-tiba
Aku tidak tahu dari mana suara berisik itu datang. Dan ternyata ada
seorang pejabat yang sedang terkena copet. Tapi, tidak ada reaksi orang-orang
sekitar yang ingin menghentikan copet tersebut. Ada apa ini ? aku menjadi
bingung, kenapa ada orang yang kecopetan, tapi tidak diberi pertolongan. Dan
aku mendapat bisikan dari orang asing yang duduk disampingku “biar rasa pejabat
itu kecopetan dan tidak ada yang bantu, lagi pula apakah dia mau ngebantu kita
bila kita sedang kesusahan”. Orang tersebutpun langsung pergi entah kemana.
Ya…
inilah Jakarta, Ibukota kebanggaan kita.
Dimana semua orang yang tinggal disini, mencari
kesejahteraan, walau harus berpenampilan rendah, dan bertaruh nyawa.
Akupun terus melanjutkan perjalananku,
entah kemana aku harus pergi. Biarkanlah angin dan insting yang membawaku
pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar